Minggu, 14 Agustus 2011

Maaf, Saya Sambil Menulis Ya...

Siang tadi aq bersama dengan rekan, katakan saja namanya “T”, datang ke kantor salah satu anggota DPRD di Kabupaten “X”, bernama “AA” (tidak bisa saya tuliskan demi kenyamanan dan etika).
Aku dan rekanku T, sampai di kantor beliau sekitar jam 09:00 WIB sesuai dengan janji yang sudah kami sepakati 2 (dua) sebelumnya dengan tuan AA di atas. Sampai di lobby gedung DPRD kami disambut oleh anggota Pol PP yang berjaga di depan pintu masuk.
“Selamat pagi pak, ada yang bisa dibantu?” Tanya Pol PP pada kami.
“Selamat pagi pak”, jawabku spontan sambil berjabat tangan dengan 3 orang Pol PP yang berjaga-jaga itu.
“Kami ingin ketemu Pak AA, beliau sudah datang?” tanyaku sopan kepada Pol PP itu.
“Ooo…Pak Ketua belum datang pak, silahkan ditunggu pak. Mungkin tengah hari beliau datang, seperti biasa pak.” Kata Pol PP dengan tetap memberi senyuman pada kami berdua.
Tuan AA yang akan kami temui ini adalah Ketua DPRD Tk II Kabupaten. Artinya, orang nomor 1 di Gedung Dewan ini.
“Belum datang ya..” ujarku spontan, bernada kecewa.
“Silakan ditunggu pak”, ujar salah seorang Pol PP dan mempersilahkan kami masuk dan menunjukkan ruang tunggu.
“ Kemarin janji nya memang jam 9 pagi kan? “, tanyaku pada T.
“Yah, jam 9 pagi dia minta kita datang ke kantornya”, jawab T padaku sambil kami berjalan dan duduk di ruang tunggu.
Setengah jam berlalu tanpa ada kegiatan berarti yang kami lakukan di ruang tunggu.
“Ini jam karet juga DPRD, ga beda ama instansi pemerintah yang lain”, kataku pelan pada T, kuatir didengar orang-orang sekitar.
T yang juga sepertinya merasa sudah mulai bosan, mengeluarkan handphone nya dan berkata “ Coba aku telpon bentar.”
T pun mulai menghubungi nomor tuan AA. “Tidak aktif”, kata T kesal sambil mecoba menelpon lagi.
“Gak aktif bro”, kata T padaku sambil memasukkan kembali handphone itu ke dalam kantungnya. Kami pun hanya bisa diam dengan pikiran kami masing-masing.
Aku dan T sedikit banyak kesal juga, jauh-jauh datang dari Jakarta sejak pagi hanya untuk menunggu seperti ini. Padahal masih banyak pekerjaan lain yang harus kami lakukan.
“Ayo jalan keliling melihat gedung dewan ini”, tiba-tiba T berdiri tanpa sempat aku menjawab.
Aku pun berdiri dan mengikutinya.
“Dari pada bosan menunggu, lebih baik keliling-keliling, siapa tau ada cewek cakep yang lagi jomblo butuh bantuan..haha…”, kata T kepadaku mencoba mencairkan suasana.
“Hahaha…PNS lagi ya..” ucapku menimpali.
Kami berjalan masuk semakin jauh bahkan sampai ke tempat yang aku pikir tidak pantas untuk dimasuki oleh tamu.
“Apa boleh kita masuk ke mari?” tanyaku pada T, kuatir juga jangan sampai ditegur dan disangka yang tidak2.
“Ini kan Gedung dewan wakil rakyat, artinya gedung ini milik rakyak. Boleh dong rakyat kecil seperti kita masuk dan melihat-lihat”, jawab T begitu entengnya.
Namun aku kurang setuju dengan pendapat T, tapi karena tidak ingin berdebat aku memilih untuk diam dan tidak menanggapi.
“Kita ke warung aja, menunggu disana sambil ngopi” usulku pada T. Daripada berjalan semakin masuk ke dalam ruang-ruang gedung dewan ini, aku mencoba mengusulkan hal lain pada T yang kelihatan bosan kalau hanya duduk-duduk saja. Tentu saja karena juga aku tidak ingin berjalan-jalan tidak menentu di gedung ini, yang memang cukup besar.
Saat itu aku melihat jam dinding yang ada di gedung dewan itu menunjuk hampir jam 10:00. Sudah hampir 1 jam kami disini, tapi belum bertemu dengan tuan AA.
Kami pun melanjutkan “pekerjaan” dengan menunggu di warung tepat di seberang pintu depan gedung Dewan. Sengaja kami memilih posisi yang langsung menghadap ke pintu masuk, supaya bisa melihat kalau-kalau ketua dewan sudah datang.
“Kalau kita disini dari mana kita tau kalau pak AA sudah datang?”, tanya AA padaku sambil melihat sekeliling.
“ Kita lihat aja kalau ada mobil yang paling mewah dan bagus masuk ke dalam, pasti dia la itu.” Jawabku enteng pada T.
“Teori dari mana itu? Emangnya ketua dewan harus seperti itu?”
“Bukan teori, tapi kebiasaan ketua dewan kan memang begitu, selalu ingin tampil beda dengan anggota dewan yang lain, ketua gitu loohh…haha…”, jawabku pada T sambil tertawa.
Hampir satu jam lebih kami menunggu di warung itu sambil menikmati kopi hangat dan gorengan. Kopi dan gorengan sudah hampir habis, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan pak ketua dewan. Kesabaranpun juga sudah hampir habis, karena nomor tuan AA ini masih juga tidak aktif ketika T mencoba menghubungi.
“ Ketua dewan kurang ajar juga ini”, kataku pada T yang hanya bisa diam.
“ Makin tak respek aku ama anggota dewan ini, tidak ada satu hal pun yang membuat aku bisa respek melihat anggota dewan.” Ucapku berbicara sendiri karena sepertinya T tidak peduli.
“ Kita dalam posisi yang membutuhkan sekarang, sabar aja la”, tiba-tiba T menimpali dengan sedikit pasrah.
Jam menunjukkan pukul 11:45 ketika sebuah mobil Fortuner Hitam masuk dan berhenti di depan pintu masuk gedung dewan.
“Kurasa itu mobilnya”, kataku pada T yang juga melihat mobil itu masuk.
Dari posisi kami berdiri, terlihat tiga orang Pol PP tadi menaruh hormat dan membukakan pintu mobil.
“Sepertinya memang dia tuh”, kata T padaku yang memang pernah berjumpa langsung dengan tuan AA, jadi masih ingat perawakan nya.
Kami pun segera menuju kembali masuk ke gedung dewan, setelah membayar tagihan di warung tadi.
Sampai di depan pintu masuk, karena ingin memastikan, aku bertanya pada Pol PP yang berjaga tadi.
“ Silahkan pak, pak ketua sudah datang”, jawab nya sambil menyodorkan daftar hadir khusus untuk ketua dewan. Kalau menghadap ketua dewan harus mengisi daftar nota hadir rupanya. Selesai mengisi, Pol PP tadi mengantar kami ke ruang ketua dewan, dan melapor pada ajudan ketua.
“ Silahkan duduk dulu pak, saya lapor pada bapak dulu”, kata ajudan itu mempersilahkan kami duduk di ruang tunggu.
Sepuluh menit berselang, ajudan itu keluar lagi dan mempersilahkan kami masuk ruangan ketua. Ruangan nya begitu luas dan rapi serta kelihatan mewah. Lantainya berlapis karpet yang kelihatannya cukup mahal.
“Selamat siang pak”, ucapku sambil menyodorkan tangan memberi salam.
“Selamat siang, silahkan duduk”, ucapnya ringan sambil mempersilahkan kami duduk di depan meja kerjanya. Tanpa merasa bersalah dia tersenyum dan mengatakan baru selesai rapat di kantor bupati.
“Bagaimana? Ada yang mungkin bisa saya batu?” tanya nya pada kami sambil menulis sesuatu pada berkas-berkas yang dipegangnya.
“Maaf ya, saya sambil menulis..berkas-berkas ini masih banyak yang harus saya periksa”, ucapnya pada kami seperti meminta ijin untuk tetap menulis sembari berbicara pada kami.
Melihat respon seperti ini, aku menilai dia tidak menghargai kedatangan dan keberadaan kami. Tujuan kedatangan kami pun tidak lagi menjadi hal utama yang kupikirkan. Bagaimana seorang wakil rakyat bisa berlaku seperti itu, berbicara sambil menulis dan mengoreksi berkas?! Apa tidak bisa menyisihkan waktu barang setengah jam untuk melayani warganya? Apakah setengah jam itu begitu berharganya?! Kami yang datang membawa nama instansi, diperlakukan seperti seperti tidak dianggap ada, bagaimana lagi kalau yang datang adalah rakyat kecil yang menuntut hak dan keadilan..??! Wajarlah memang banyak rakyat yang lebih memilih datang ke gedung dewan beramai-ramai melakukan demo agar didengar, karena mereka sadar ketika datang secara resmi, mereka tidak akan pernah dianggap ada dan mungkin hanya dianggap angin lalu seperti yang kami alami ini.
Pembicaraan berikutnya dengan Pak AA, tidak lagi kuikuti karena aku sudah lebih dulu meminta ijin keluar dengan alasan ke kamar kecil.
“Mengapa aku harus menghormati orang yang bahkan tidak menaruh hormat pada tamunya?”, kataku dalam hati sembari berjalan keluar ruangan meski belum ada 1 menit aku berada di ruangan itu.
Memang tidak pernah ada hal yang membuatku bisa respek melihat anggota dewan…sampai hari ini.

Can U Speak Indonesia?

Siang itu aku berangkat menuju ke sebuah Plaza di pusat kota Jakarta untuk service notebook ku yang sudah tertunda-tunda sekitar 2 mingguan. Perjalanan kumulai dari Terminal Pondok Labu menuju ke Blok M kemudian disambung dengan busway menuju plaza tersebut.

Di halte busway Blok M siang itu seperti biasa cukup panas dan ramai oleh penumpang yang mengantri dan menunggu datangnya bus transjakarta (biasa kita sebut busway la..). Kucoba melihat sekeliling, dan melihat orang-orang disini sibuk dengan lamunannya sendiri sembari menunggu datangnya bus. Sama dengan yang lainnya, aku pun mulai menyibukkan diri dengan lamunan dan rencana yang akan kulakukan hari ini, sampai akhirnya perhatianku teralihkan oleh perbincangan dua orang beda usia yang berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri.

“I want to Kalideres, where should I turn ? “

tanya seorang perempuan tua pada pemuda yang berpenampilan rapi dan tampaknya berpendidikan. Wanita tua itu tampak kurus dan lusuh dengan sandal jepit melekat pada kakinya dan sebuah dompet warna cokelat di genggaman tangan kanannya. Sepintas terlihat dia mungkin baru datang dari kampung, mungkin untuk mengujungi keluarganya.
“ From here, you transit at Harmoni station and take the busway to Kalideres”
jawab pemuda itu dengan rasa heran yang tak bisa disembunyikan tergambar di wajahnya yang berkulit putih sembari memegang kacamata yang dipakainya.

Bukan hanya dia, aku yang mendengar pun heran, bagaimana seorang nenek yang “maaf” penampilannya sangat terlihat “kampungan” , bertanya dengan bahasa Inggris yang menurutku sangat “fasih”, lancar dan tidak terkesan grogi.

“Transit at Harmony and then to Kalideres..??!” Ujar si nenek coba meyakinkan pernyataan pemuda tadi.

“Yah…”, ujarnya singkat.
“There is no other choice except transit in Harmony..?” Tanya si nenek kembali pada pemuda itu, yang sepertinya masih penasaran dan ingin tau lebih banyak atau karena tertarik pada pemuda itu...?!

“No, you must transit before to Kalideres…”

jawab si pemuda muda itu untuk coba meyakinkan kembali.

Di tengah perbincangan mereka itu, aku berpikir apakah si nenek benar-benar tidak tau sehingga bertanya, atau cuman sekedar ingin menunjukkan pada orang lain bahwa dia “pintar” berbicara bahasa Inggris..?!

“Are you college..?”
kembali si nenek bertanya pada pemuda tadi, yang tampaknya memulai topik baru untuk berbicara.
Sepintas aku lihat dia agak sedikit gugup menjawab pertanyaan itu, mungkin karena ia grogi untuk bicara dalam bahasa Inggris di tengah keramain orang di halte busway ini. Tidak mungkin juga dia menjawab dengan bahasa Indonesia...pikirku...!
“Yah..in University of Indonesia....UI...!” kudengar ia menjawab itu.
Wah…ini menarik..pikirku..., ternyata dia mahasiswa UI, dan kemampuan berbahasa Inggrisnya sedang diuji oleh seorang perempuan tua “kampungan”...aku jadi ingin tau kelanjutannya...
“Ooo..in Depok..?! UI in Depok..?!” si nenek bertanya kembali padanya.
“Yah..in Depok…” Ujarnya singkat.
Terjadi perbincangan singkat tentang UI di antara mereka, sampai aku mendengar pemuda itu berkata :
“ Can you speak Indonesia..???”
Tanya pemuda itu pada si nenek, mungkin karena tampaknya ia mulai gerah atau mungkin merasa “kalah” pada si nenek itu.

"Why you speak Engglish..??"
“My Engglish is not good, speak in Indonesia please…” ujarnya itu pada si nenek.
Menurutku dia tidak bisa lagi melanjutkan pembicaraan dalam bahasa Inggris, untunglah busway segera tiba dan ia tidak perlu lagi dicerca pertanyaan oleh si nenek tadi.
Namun, sebelum masuk ke dalam busway aku masih sempat melihat dan mendengar si nenek berkata

“ I like speak in Engglish.....!”,
ujarnya sambil tersenyum menatap pemuda lawan bicaranya tadi, dan berjalan masuk ke dalam bus.
Aku pun hanya bisa tersenyum dalam hati mendengar ia berkata begitu dengan rasa percaya diri yang tinggi.

Meskipun semua yang dikatakan nya tadi belum tentu benar dalam hal tenses, namun kemampuannya berbicara dengan lancar tanpa tergagap (seperti orang pada umumnya ) yang selalu diselingi dengan kata Ehmm…Ehmm… membuatku merasa malu juga...hehe...
Di dalam bus, kulihat pemuda tadi tidak ingin duduk bersebelahan dengan nenek tadi meskipun pada saat itu, bangku di sebelah nenek itu terlihat kosong. Kulihat ia lebih memilih menjauh, mungkin karena tidak mau melayani pertanyaan nenek itu lagi….
yah….mungkin saja…haha....:)

Dalam hati aku berpikir, jika seorang perempuan tua seperti itu saja masih berani untuk berdialog dalam bahasa Inggris di tempat umum, mengapa kita sebagai orang muda (yang notabene katanya sebagai penerus bangsa) justru malu untuk melakukannya? atau mungkin karena tidak tau?

Mungkin kita punya jawaban masing-masing....